Subscribe News Feed Subscribe Comments

Kegagalan Menilai Budaya Pasar: Indikasi Kematian Merek



Seorang marketer harus bisa menghormati budaya suatu daerah yang menjadi Hal ini patut dilakukan apabila ia ingin sukses. Banyak pemain internasional salah mengartikan globalisasi sebagai homogenisasi alias menyatukan semua bauran pemasaran di semua tempat. Padahal beberapa produk sering tidak mudah mendapatkan tempat di hati konsumen. Sereal target marketnya Corn Flakes contohnya, walaupun mampu menjadi raja di Amerika Serikat, namun tidak pernah bisa meraih sukses di pasar Asia. Hal ini dikarenakan beberapa negara di Asia memiliki kebiasaan untuk sarapan dengan nasi atau bubur.
Hal yang paling sepele adalah masalah translasi bahasa. Search engeine seperti Google pun menyadari bahwa dirinya tak akan mudah masuk ke pasar Indonesia jika tidak mengeluarkan Google dalam bahasa Indonesia. Hal ini pun dilakuka Wikipedia. Kamus terlengkap di dunia ini bisa diakses mempergunakan bahasa Indonesia.
Di dalam kesalahan budaya tentu saja termasuk kesalahan penamaan yang diakibatkan tidak memahami bahasa setempat. Semua orang tentu mengetahui Band Sheila On 7 (SO7) bukan? Beberapa penggemarnya mungkin mengetahui bahwa beberapa tahun yang lalu, band asal Yogyakarta ini pernah dilarang tampil di Malaysia. Hal ini dikarenakan di salah satu lirik lagunya terdapat kata "celaka" yang memiliki makna sangat kasar di negeri Jiran.
Hal ini pun terjadi misalnya pada Extra Joss yang dengan slogan "Ini biangnya" kurang diterima di Medan. Hal ini disebabkan karena istilah biang berarti anjing. Demikian halnya dengan American Airlines yang masuk ke pasar Meksiko dengan slogan "Fly in Leather. Maksud dari slogan ini adalah kursi kelas eksekutifnya memakai kursi berbahan kulit. Namun, dalam bahasa Spanyol, slogan ini di salah ejakan "Vuelo en Cuerco", dimana Cuero adalah bahasa slang untuk telanjang. Sungguh menggelikan bukan?
Di Indonesia, Tara Nasiku dari Unilever dan Nasi Instan Garudafood merupakan contoh merek yang gagal untuk menghadirkan inovasi baru di pasar Indonesia. Mulanya produk-produk ini dibuat untuk menggebrak pasar makanan instan.
Namun, ternyata mengubah budaya itu tidak mudah. Mie instan berhasil merubah budaya makan Indonesia, tapi tidak demikian halnya dengan nasi goreng instan. Nasi adalah makanan utama sedangkan mie instan adalah makanan sampingan. Tidak mudah bagi orang Indonesia makan nasi dengan mengolahnya secara instan.
Menurut Jahja B, Soenarjo, Chief Consulting Officer Direxion Consulting, ada tiga penyebab utama kegagalan merek terkati budaya pasar:
  1. Market readiness atau kesiapan pasar untuk menerima produk baru. kalau target market-nya belum siap, maka produk tersebut pasti akan terhambat.
  2. Edukasi pasar yang berkelanjutan. Edukasi bukan berarti promosi semata. Membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mengubah pola pikir dan mengubah budaya.
  3. Unconfirmity, yang berarti ketidaksesuaian benefit yang ditawarkan dengan ekspektasi pasar atau permintaan laten. "Menciptakan" permintaan bukanlah hal yang mudah. Jika tidak ada latent demand yang kemudian digiring menjadi permintaan efektif, maka bisa menimbulkan kegagalan merek.
Sumber: Majalah Marketing Edisi 06/ JUNI/ 2009 (dengan perubahan)

0 comments:

Post a Comment

 
icandakocan | TNB